Assalamu’alaikum,
Ustadzah, saya mengetahui bahwa idealnya seorang ibu sebaiknya ada di rumah untuk mengasuh, mendampingi, dan mendidiknya sendiri. Namun dengan kondisi yang ada, membuat saya harus menjadi seorang wanita yang bekerja. Yang ingin saya tanyakan, apa saja yang perlu saya lakukan dengan kondisi saya bekerja saat ini, agar perkembangan psikologis anak saya tetap optimal. Mohon sarannya, terimakasih.
(Ibu P di Sidoarjo)
Waaikumsalam ibu P di Sidoarjo
Menjadi wanita bekerja sekaligus ibu rumah tangga memang adalah sebuah pilihan. Saya memahami beberapa keluarga memang belum bisa menghindari hal ini. Sebenarnya, setiap keluarga memiliki keunikan dalam mengelola kehidupannya. Jadi mungkin solusi untuk sebuah keluarga akan berbeda dengan keluarga yang lain. Saya akan menceritakan beberapa keluarga. Sebagian keluarga yang kedua suami-istrinya bekerja memilih untuk menitipkan anaknya kepada orangtua/mertua, dengan alasan keluarga lebih dapat dipercaya untuk mengasuh anak-anak. Sebagian keluarga memutuskan untuk mengambil seorang pengasuh atau baby sitter untuk menjaga anaknya selama mereka bekerja karena tidak ingin merepotkan orangtua. Sebagian keluarga memilih untuk membawa anaknya di tempat penitipan anak karena ingin layanan profesional. Pilihan ini banyak dilakukan oleh keluarga dengan anak-anak yang masih bayi atau balita. Untuk keluarga yang memiliki anak lebih besar, banyak yang memilih sekolah fullday, dengan alasan memberikan lingkungan belajar selama seharian selama orangtua bekerja sehingga anak-anak mendapatkan pendidikan formal yang dapat dipercaya untuk perkembangan mereka.
Semua pilihan di atas pada dasarnya bisa dilakukan, tapi kami ingin memberikan saran berupa penekanan tertentu. Jika menitipkan kepada orangtua, perlu ada sebuah kesepakatan tentang pola asuh, karena seringkali kakek-nenek memanjakan cucu-cucunya sehingga mempengaruhi tingkat kemandirian. Jika menitipkan kepada pengasuh, baby sitter, atau tempat penitipan anak, maka perlu dilihat dulu, apakah pihak-pihak ini dapat memahami konsep pendidikan anak, mampu melakukan stimulasi atau pendidikan untuk perkembangan anak, dan punya komitmen serta kasih sayang seperti kita orangtuanya. Kejadian tentang pengasuh yang membiarkan anak, atau baby sitter yang memarahi anak, dan tempat penitipan anak yang hanya berjaga-jaga supaya anak tidak menangis, asalkan anak-anak diam dibiarkan saja, kejadian ini sering kita dengar dan perlu kita hindari. Oleh karena itu, perlu ada seleksi dengan serius ketika memilih pengasuh atau tempat penitipan anak.
Pada dasarnya, yang perlu dilakukan orangtua ketika meninggalkan anaknya untuk bekerja adalah memastikan anaknya mendapatkan lingkungan yang nyaman, mendapatkan stimulasi atau pendidikan yang tepat sesuai dengan usianya sehingga terpenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, ketika orangtua pulang dari bekerja, diharapkan dapat mengelola waktunya dengan baik untuk tetap berinteraksi dengan anak, misalnya menyiapkan keperluannya sebelum berangkat bekerja, makan bersama, menemani belajar, diskusi atau ngobrol santai untuk tahu aktivitas hariannya, mengantarkan tidur, melakukan ibadah seperti shalat dan membaca Al Qur’an bersama-sama, dimana tujuan aktivitas bersama ini adalah untuk mempertahankan kontak emosional atau kedekatan sehingga anak merasa mendapat perhatian yang cukup.
Sebagimana yang ibu katakan, bahwa idealnya seorang ibu ada di rumah untuk mengasuh sendiri anaknya, jadi kami tetap menyarankan untuk memprioritaskan peran ibu. Seorang ibu adalah pendidik pertama dan utama, yang mengajari anak-anak hal-hal pertama dalam kehidupannya, yang meletakkan dasar-dasar tentang kehidupan. Setidaknya di masa golden age kira-kira 5-6 tahun pertama, masa emas yang menjadi proses perkembangan awal anak, para ibu diharapkan ada di rumah. Selepas usia tersebut, dengan pendidikan yang baik anak-anak biasanya sudah mulai mandiri untuk keperluan pribadinya, serta mampu berkomunikasi untuk mengutarakan isi hati dan pikirannya, sehingga para ibu dapat kembali bekerja dengan tanpa beban.
Selasa, 20 Juli 2010
Jumat, 29 Januari 2010
Mutiara Hikmah tentang Orangtua dan Anak
Allah SWT telah mengingatkan kita tentang hakikat anak bagi orangtua, bahwa anak-anak adalah ujian bagi orangtuanya. “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara pasangan-pasangan hidupmu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya harta-harta kamu, dan anak-anak kamu adalah ujian (bagimu); di sisi Allah ada ganjaran (pahala) yang besar” (QS At Taghaabun [64]:14-15). Jika anak-anak kita tumbuh dengan baik dan menyenangkan hati orangtua, maka itu adalah sebuah ujian tentang bagaimana orangtua bersyukur. Jika anak-anak kita tumbuh dengan beberapa kekurangan dan menyusahkan orangtua, maka itu adalah ujian tentang bagaimana orangtua bersabar.
Allah juga telah menunjukkan bagaimana cara orangtua berhubungan dengan anaknya, seperti tersampaikan dalam hadits Rasulullah Saw berikut ini. “Jika seseorang telah wafat, maka putuslah segala amalnya, kecuali tiga hal: sedeqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.”(HR Muslim). Oleh karena itu, orangtua berkewajiban untuk mendidik anaknya menjadi anak yang shalih dan berbakti pada orangtua.
Dalam suatu majelis Rasulullah mengingatkan para sahabat-sahabatnya, “Hormatilah anak-anakmu dan didiklah mereka. Allah ‘Azza wa Jalla memberi rahmat kepada seseorang yang membantu anaknya sehingga sang anak dapat berbakti kepadanya.” Salah seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana cara membantu anakku sehingga ia dapat berbakti kepadaku?” Nabi Menjawab, “Menerima usahanya walaupun kecil, memaafkan kekeliruannya, tidak membebaninya dengan beban yang berat, dan tidak pula memakinya dengan makian yang melukai hatinya.” (HR Abu Daud)
Pada kesempatan lain Rasulullah berkata, “Siapa yang memiliki anak, hendaklah ia bermain bersamanya dan menjadi sepertinya. Siapa yang mengembirakan hati anaknya, maka ia bagaikan memerdekakan hamba sahaya. Siapa yang bergurau (bercanda) untuk menyenangkan hati anaknya, maka ia bagaikan menangis karena takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla” (HR Abu Daud dan At Tirmidzi)
Hadits Rasulullah diatas menjelaskan, “Siapa yang memiliki anak, hendaklah ia bermain bersamanya dan menjadi sepertinya.” Adalah sebuah ungkapan yang amat sederhana yang memiliki arti: keterikatan batin yang amat dalam agar anak dan orangtua dapat saling memahami, menjadi sahabat dan teman saling bertukar pikiran. Berapa banyak anak-anak kita yang tidak lagi merasakan dapat bermain bersama orangtuanya dan saling memahami karena kesibukan orang tua dalam hal mencari keduniaan?
Allah juga telah menunjukkan bagaimana cara orangtua berhubungan dengan anaknya, seperti tersampaikan dalam hadits Rasulullah Saw berikut ini. “Jika seseorang telah wafat, maka putuslah segala amalnya, kecuali tiga hal: sedeqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.”(HR Muslim). Oleh karena itu, orangtua berkewajiban untuk mendidik anaknya menjadi anak yang shalih dan berbakti pada orangtua.
Dalam suatu majelis Rasulullah mengingatkan para sahabat-sahabatnya, “Hormatilah anak-anakmu dan didiklah mereka. Allah ‘Azza wa Jalla memberi rahmat kepada seseorang yang membantu anaknya sehingga sang anak dapat berbakti kepadanya.” Salah seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana cara membantu anakku sehingga ia dapat berbakti kepadaku?” Nabi Menjawab, “Menerima usahanya walaupun kecil, memaafkan kekeliruannya, tidak membebaninya dengan beban yang berat, dan tidak pula memakinya dengan makian yang melukai hatinya.” (HR Abu Daud)
Pada kesempatan lain Rasulullah berkata, “Siapa yang memiliki anak, hendaklah ia bermain bersamanya dan menjadi sepertinya. Siapa yang mengembirakan hati anaknya, maka ia bagaikan memerdekakan hamba sahaya. Siapa yang bergurau (bercanda) untuk menyenangkan hati anaknya, maka ia bagaikan menangis karena takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla” (HR Abu Daud dan At Tirmidzi)
Hadits Rasulullah diatas menjelaskan, “Siapa yang memiliki anak, hendaklah ia bermain bersamanya dan menjadi sepertinya.” Adalah sebuah ungkapan yang amat sederhana yang memiliki arti: keterikatan batin yang amat dalam agar anak dan orangtua dapat saling memahami, menjadi sahabat dan teman saling bertukar pikiran. Berapa banyak anak-anak kita yang tidak lagi merasakan dapat bermain bersama orangtuanya dan saling memahami karena kesibukan orang tua dalam hal mencari keduniaan?
Senin, 07 Desember 2009
Group Therapy Session
Terapi untuk anak-anak sejauh ini telah dilakukan
one-on one, satu terapis satu klien
Alhamdulillah, beberapa anak telah menunjukkan kemajuan pesat,
meski dalam beberapa hal masih perlu dibantu.
Oleh karena itu anak-anak memerlukan sebuah generalisasi,
sebagai media untuk mengaplikasikan
kemampuannya dalam konteks aktivitas sosial.
Aktivitas sosial ini akan menjadi sebuah stimulasi penting,
untuk melihat sejauh mana anak dapat beradaptasi
dan menunjukkan kemampuannya dalam lingkungan sosial.
Group Therapy Session
Serangkaian terapi gabungan, yaitu terapi okupasi, terapi wicara, dan terapi perilaku untuk memberikan stimulasi pada anak dalam konteks aktivitas sosial.
Waktu Pelaksanaan : Sabtu, 12 Desember pukul 09.00-11.00
PAKET A : Rp 150.000,- (Group Therapy untuk anak dipandu oleh terapis okupasi dan terapis wicara)
PAKET B : Rp. 200.000 (Group Therapy untuk anak dan Foccused Group Discussion untuk orangtua yang dipandu oleh Psikolog)
Catatan : Foccused Group Discussion ini adalah sebuah bentuk konseling kelompok, sharing pengalaman, & konsultasi psikologis yang mendiskusikan tips-tips dalam mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus.
one-on one, satu terapis satu klien
Alhamdulillah, beberapa anak telah menunjukkan kemajuan pesat,
meski dalam beberapa hal masih perlu dibantu.
Oleh karena itu anak-anak memerlukan sebuah generalisasi,
sebagai media untuk mengaplikasikan
kemampuannya dalam konteks aktivitas sosial.
Aktivitas sosial ini akan menjadi sebuah stimulasi penting,
untuk melihat sejauh mana anak dapat beradaptasi
dan menunjukkan kemampuannya dalam lingkungan sosial.
Group Therapy Session
Serangkaian terapi gabungan, yaitu terapi okupasi, terapi wicara, dan terapi perilaku untuk memberikan stimulasi pada anak dalam konteks aktivitas sosial.
Waktu Pelaksanaan : Sabtu, 12 Desember pukul 09.00-11.00
PAKET A : Rp 150.000,- (Group Therapy untuk anak dipandu oleh terapis okupasi dan terapis wicara)
PAKET B : Rp. 200.000 (Group Therapy untuk anak dan Foccused Group Discussion untuk orangtua yang dipandu oleh Psikolog)
Catatan : Foccused Group Discussion ini adalah sebuah bentuk konseling kelompok, sharing pengalaman, & konsultasi psikologis yang mendiskusikan tips-tips dalam mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus.
Label:
Profil Layanan
Selasa, 24 November 2009
Konsultasi tentang Anak Pendiam
Assallamu'alaikum Warahmatullohi Wabarakatuh.
Yth. ustadz/ustadzah.
Yth. ustadz/ustadzah.
Kami ingin konsultasi mengenai problem anak kami. Anak kami sekarang berumur 10 tahun duduk dikelas IV SD, sampai saat ini yang menjadi masalah adalah kesulitan bersosialisasi baik dengan teman maupun orang lain (terutama yang baru dikenal). Ketika diajak berkumpul
dengan teman atau orang lain dia hanya nguntit dibelakang ibunya, ketika disapa teman/orang lain dia tidak mau menjawab dan berubah menjadi pendiam. Perlu diketahui anak kami jika dirumah normal-normal saja, baik bicara maupun perilakunya, bahkan dia termasuk anak yang berprestasi disekolahnya. Mohon saran dari ustadz/ustadzh, apa yang harus kami lakukan. Apakah anak kami perlu terapi/penangan khusus ? Sebelumnya kami ucapkan terima kasih, dan mohon maaf.
Wassalamu'alaikum Warahmatullohi Wabaratuh.
Hormat kami,
Bapak M.A.
===================================================================
Wa'alaikumsalam Warahmatullohi Wabarakatuh.
Pertama-tama, terimakasih telah berbagi kisah tentang anak dengan kami.
Kedua, sebelum membahas tentang permasalahan anak, kami ingin sampaikan sudut pandang umum terlebih dahulu. Setiap anak (sebagaimana semua manusia) adalah unik, berbeda satu sama lain. Maha besar Allah yang telahmenciptakannya. Oleh karena itu, masalah yang sama antara satu anak dengan yang lain belum tentu memiliki latar belakang sama, dan belum tentu jugamemiliki solusi yang sama. Maka setiap masalah anak, perlu ditelusuri kekhasannya sehingga kita dapat menemukan akar masalah untuk menyusun solusi dari situ.
Ketiga, masalah kesulitan bersosialisasi secara umum adalah masalah yang umum terjadi dengan range 20-30% populasi anak mengalami dengan latar belakang berbeda. Sebagai catatan, tidak semua anak yang memiliki sosialisasi yang kurang kemudian menjadi bermasalah dalam bidang akademis, namun masalah ini jika dibiarkan akan menghambat kecerdasan emosinya, yang akan sangat diperlukan dalam konteks sosialisasi (berorganisasi jika disekolah, bekerja jika sudah besar nanti). Bapak M.A. telah menjelaskan sebagian dari masalah ananda, namun kami belum dapat memberikan saran secara detil. Kami hanya sampaikanbeberapa kasus serupa yang semoga cukup menjadi inspirasi awal.
Kasus pertama, ada anak pendiam karena sebab fisik, maksudnya keterbatasan fisik. Pendiamnya anak semacam ini adalah representasi rasa tidak percaya diri ketika dia membandingkan diri dengan teman seusianya yang dia rasa'tidak punya kelemahan seperti dia'. Yang dimaksud kelemahan fisik bisaberupa cacat (buta, tuli, tunadaksa), postur tubuh (terlalu pendek/tinggi,terlalu gemuk/kurus, agak bungkuk), kelincahan (kurang terampil bermainbola, sering jatuh), atau mudah sakit. Jika hal-hal semacam ini terjadi,tentunya saran yang diberikan adalah membenahi fisiknya (pengobatan atau terapi fisik), jika tidak bisa disembuhkan maka kita perlu memberikan pendampingan psikologis agar dia mau menerima dirinya dan menumbuhkanpercaya diri.
Kasus kedua, anak pendiam karena trauma. Trauma disini adalah pengalamanmasa lalu yang tidak mengenakkan atau menyakitkan hati sehingga meninggalkan bekas dalam alam bawah sadar bahwa bersosialisasi dengan orang baru itu TIDAK ENAK, atau bahkan MENGANCAM keamanan dirinya. Jenis trauma yang pernah kami dapati : disiksa secara fisik-psikologis olehorangtua/keluarga besar waktu kecil, diabaikan/ditinggalkan sendirian oleh orangtua waktu kecil, dimarahi pengasuh waktu kecil, sering dititipkan kepada orang lain sewaktu kecil, perceraian orangtua, munculnya ayah/ibu tiri pada masa kecil, atau pelecehan seksual oleh orang tidak dikenal. Untuk kasus-kasus seperti ini, maka yang disarankan adalah terapi untuk menghilangkan trauma dulu, baru membantu untuk bersosialisasi lebih baik. Terapi semacam ini harus dipandu oleh profesional.
Kasus ketiga, anak yang pendiam karena kebiasaan. Kebiasaan disini maksudnya pengondisian lingkungan yang kurang stimulasi sosial untuk anak. Misalnya, anak ini adalah anak tunggal, sehingga tidak ada saudara untuk diajak bersosialisasi. Contoh lain, anak yang tinggal di kompleks perumahan yang minim sosialisasi sehingga anak tidak terbiasa berkumpul dengan orang banyak. Bisa juga, anak yang memiliki kedua orangtua yang juga pendiam sehingga jarang berkomunikasi satu sama lain. Jika kasusnya semacam ini, maka yang perlu adalah pembiasaan yang dimulai di rumah,dilanjutkan di sekolah, dan suatu saat disimulasikan dalam konteks masyarakat umum. Perlakukan semacam ini dilakukan oleh orangtua, dengan panduan awal dari profesional.
Dengan melihat contoh kasus di atas, semoga ada sedikit gambaran tentang masalah pendiamnya anak. Jika tidak satu kasus pun yang mirip, kami kira bapak M.A. perlu mendeskripsikan masalah ananda lebih detil, agar memudahkan kami melakukan analisis. Untuk saran berikutnya, silakan hubungi kami lagi. Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan. Kebenaran hanya milik Allah, maka jika ada kesalahan itu datangnya khilaf kami.
Wassalamu'alaikum Warahmatullohi Wabaratuh.
Hormat kami,
Tim P3H
Kamis, 05 November 2009
Memberdayakan Orangtua sebagai Pendidik
Perkembangan anak harus berjalan dari tiga arah, yakni guru, anak, dan orang tua. Guru berperan sebagai pemerhati di sekolah, anak menjadi seseorang yang dipercaya, dan orang tua menjadi tempat curahan hati di rumah.
Kita harus mengakui bahwa poros pendidikan, terutama penanaman sikap atau akhlak yang dahulu terpusat di keluarga atau lingkungan rumah telah bergeser ke sekolah sebagai institusi formal pendidikan yang sangat diakui. Ketika orangtua mengambil keputusan untuk menyekolahkan anaknya, saat itulah orangtua memberikan kepercayaan kepada sekolah untuk mendidik anaknya. Apalagi, saat ini banyak sekolah yang tidak hanya menjanjikan pendidikan agar anak memiliki prestasi akademis yang baik tetapi juga ‘berani’ menawarkan pendidikan akhlak. Maka orangtua semakin merasa aman dan nyaman untuk menyerahkan segala urursan pendidikan anak kepada sekolah.
Menurut sejarah, sekolah berasal dari bahasa Latin skole, scola, atau scolae, yang berarti ‘waktu luang’ atau ‘waktu senggang’. Artinya sekolah adalah ‘waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar’. Saat ini, sekolah yang diharapkan menjadi tempat sosialisasi dan perangkat kurikulum yang diharapkan menjadi sarana anak-anak untuk mempelajari nilai-nilai kehidupan justru membelenggu dan mencabut dunia anak-anak karena begitu padatnya kurikulum pendidikan.
Kita semua mengenal keluarga sebagai masyarakat terkecil di dunia ini, di mana setiap manusia belajar segala sesuatu untuk pertama kalinya. Sesungguhnya, pendidik pertama dan paling utama bagi anak-anak, khususnya masalah sikap dan akhlak adalah orangtua mereka. Sekolah sebagai institusi formal boleh saja mencoba untuk memfasilitasi pembelajaran akhlak tetapi kunci ketercapaian pendidikan akhlak tetap berada di dalam keluarga. Anak-anak yang mendapatkan pendidikan berbeda antara di rumah dan di sekolah akan menjadi anak yang bingung, misalnya sekolah mewajibkan pemakaian kerudung sedangkan orangtua tidak melakukan hal yang sama, maka anak menjadi kebingungan akan nilai menutup aurat. Anak yang mendapat pendidikan akhlak di sekolah tetapi kurang mendapatkan perhatian di rumah juga akan cenderung menjadi pribadi yang labil. Oleh karena itu, sekolah yang menawarkan pendidikan akhlak mesti merancang kerja sama dengan orangtua sedemikian rupa agar program sekolah dapat berjalan beriringan dengan peran orangtua di rumah.
Kerjasama sekolah dan orangtua bisa diwujudkan dalam rung lingkup yang luas. Pada umumnya, orangtua atau wali murid tergabung dalam wadah Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan yang sekarang dikenal dengan istilah Komite Sekolah. Komite Sekolah ini diharapkan memberikan peran yang berarti bagi sekolah. Sejauh ini, Komite Sekolah kami telah menyelenggarakan kegiatan seperti sarasehan pendidikan, kajian tematik, kajian agama, dan bahkan memprakarsai wisata ruhani dan pelatihan bagi siswa dan guru. Inilah kemungkinan bentuk pertama kerja sama orangtua dan sekolah dalam mendukung sistem pendidikan.
Bentuk kedua yang mungkin bisa dilakukan adalah sistem komunikasi terbuka antara orangtua dan sekolah. Sekolah pernah kebingungan dalam menghadapi permasalahan anak dan kesulitan menghubungi orangtua karena kesibukan mereka. Kadangkala orangtua kurang memiliki perhatian untuk membangun komunikasi dengan sekolah, seperti tampak dalam ketidakhadiran dalam pertemuan wali murid. Padahal dengan pertemuan ini, sekolah berusaha melakukan sosialisasi sistem pendidikan dan berbagai macam kebijakan sekolah agar dipahami orangtua dan menggali masukan dari mereka. Beberapa orangtua masih merasa risih atau enggan diundang ke sekolah secara pribadi karena mempersepsikan undangan sebagai konsekuensi anaknya bermasalah atau melakukan pelanggaran aturan sekolah, padahal belum tentu seperti itu. Komunikasi yang efektif bisa dilakukan jika sekolah memberikan kesempatan komunikasi dan pelayanan diskusi yang nyaman dan orangtua memiliki persepsi positif serta keterbukaan berdiskusi dengan sekolah. Undangan sekolah akan lebih baik dipersepsikan sebagai bentuk layanan komunikasi dan kesempatan berdiskusi tentang langkah terbaik dalam mandampingi proses tumbuh kembang anak.
Kegiatan berikutnya yang akan sangat membantu kerja sama orangtua dan sekolah adalah kunjungan rumah. Sekolah kami secara bergiliran mengirimkan perwakilan guru untuk mengunjungi rumah wali murid. Penulis mengamati, saat ini sudah banyak sekolah yang melakukannya. Kegiatan ini pada dasarnya adalah silaturahmi untuk membangun kehangatan hubungan antara kedua pihak, ternyata proses ini mendatangkan manfaat yang lebih luas. Selama proses perbincangan di rumah wali murid, sekolah bisa mendapatkan gambaran pendidikan orangtua di rumah, meluruskan perbedaan-perbedaan persepsi antara kedua pihak, menemukan data-data yang sangat berguna untuk mengembangkan program sekolah, sekaligus membangun komitmen tentang tindak lanjut kegiatan ke depan baik oleh orangua di rumah maupun oleh guru di sekolah agar anak-anak berkembang lebih baik.
Program lain yang pernah diselenggarakan sekolah adalah Parenting Skill Class. Dalam program ini, semua orangtua diundang ke sekolah secara bergiliran untuk mendapatkan pembelajaran tentang penerapan pola asuh orangtua pada anak-anaknya. Program ini bertujuan agar visi sekolah dan orangtua dalam mendidik anak sama. Parenting Skill Class merupakan layanan sekolah untuk wali murid yang diharapkan bisa memberi bekal dalam mendampingi tumbuh kembang anak dengan baik. Acara ini dipandu oleh instruktur berpengalaman dengan kemasan yang menarik, mulai dari ceramah, diskusi, berbagai pengalaman, permainan, nonton film, dan kisah-kisah kontemplatif. Wali murid merasakan banyak manfaat dari kegiatan ini.
Sekolah harus merancang program-program ini dengan terencana, terkoordinasi, dan terevaluasi dengan baik serta melaksanakannya secara berkelanjutan. Seberapa pun baiknya program yang dirancang sekolah, kekuatan motivasi dari wali murid tetap menjadi kunci utama suksesnya kerja sama antara sekolah dan orangtua. Orangtua yang memiliki komitmen kuat atas kerja sama ini dan memiliki komunikasi yang baik dengan sekolah, insya Allah akan mendapati anak-anaknya tumbuh dengan baik dan mencapai prestasi yang diharapkan. Orangtua yang kurang peduli akan kerja sama ini dan menyerahkan seluruh tanggung jawab pendidikan pada sekolah, perlu merenung tentang kemungkinan mereka akan mendapati anak-anaknya tumbuh tidak sesuai dengan harapan mereka.
Kita harus mengakui bahwa poros pendidikan, terutama penanaman sikap atau akhlak yang dahulu terpusat di keluarga atau lingkungan rumah telah bergeser ke sekolah sebagai institusi formal pendidikan yang sangat diakui. Ketika orangtua mengambil keputusan untuk menyekolahkan anaknya, saat itulah orangtua memberikan kepercayaan kepada sekolah untuk mendidik anaknya. Apalagi, saat ini banyak sekolah yang tidak hanya menjanjikan pendidikan agar anak memiliki prestasi akademis yang baik tetapi juga ‘berani’ menawarkan pendidikan akhlak. Maka orangtua semakin merasa aman dan nyaman untuk menyerahkan segala urursan pendidikan anak kepada sekolah.
Menurut sejarah, sekolah berasal dari bahasa Latin skole, scola, atau scolae, yang berarti ‘waktu luang’ atau ‘waktu senggang’. Artinya sekolah adalah ‘waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar’. Saat ini, sekolah yang diharapkan menjadi tempat sosialisasi dan perangkat kurikulum yang diharapkan menjadi sarana anak-anak untuk mempelajari nilai-nilai kehidupan justru membelenggu dan mencabut dunia anak-anak karena begitu padatnya kurikulum pendidikan.
Kita semua mengenal keluarga sebagai masyarakat terkecil di dunia ini, di mana setiap manusia belajar segala sesuatu untuk pertama kalinya. Sesungguhnya, pendidik pertama dan paling utama bagi anak-anak, khususnya masalah sikap dan akhlak adalah orangtua mereka. Sekolah sebagai institusi formal boleh saja mencoba untuk memfasilitasi pembelajaran akhlak tetapi kunci ketercapaian pendidikan akhlak tetap berada di dalam keluarga. Anak-anak yang mendapatkan pendidikan berbeda antara di rumah dan di sekolah akan menjadi anak yang bingung, misalnya sekolah mewajibkan pemakaian kerudung sedangkan orangtua tidak melakukan hal yang sama, maka anak menjadi kebingungan akan nilai menutup aurat. Anak yang mendapat pendidikan akhlak di sekolah tetapi kurang mendapatkan perhatian di rumah juga akan cenderung menjadi pribadi yang labil. Oleh karena itu, sekolah yang menawarkan pendidikan akhlak mesti merancang kerja sama dengan orangtua sedemikian rupa agar program sekolah dapat berjalan beriringan dengan peran orangtua di rumah.
Kerjasama sekolah dan orangtua bisa diwujudkan dalam rung lingkup yang luas. Pada umumnya, orangtua atau wali murid tergabung dalam wadah Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan yang sekarang dikenal dengan istilah Komite Sekolah. Komite Sekolah ini diharapkan memberikan peran yang berarti bagi sekolah. Sejauh ini, Komite Sekolah kami telah menyelenggarakan kegiatan seperti sarasehan pendidikan, kajian tematik, kajian agama, dan bahkan memprakarsai wisata ruhani dan pelatihan bagi siswa dan guru. Inilah kemungkinan bentuk pertama kerja sama orangtua dan sekolah dalam mendukung sistem pendidikan.
Bentuk kedua yang mungkin bisa dilakukan adalah sistem komunikasi terbuka antara orangtua dan sekolah. Sekolah pernah kebingungan dalam menghadapi permasalahan anak dan kesulitan menghubungi orangtua karena kesibukan mereka. Kadangkala orangtua kurang memiliki perhatian untuk membangun komunikasi dengan sekolah, seperti tampak dalam ketidakhadiran dalam pertemuan wali murid. Padahal dengan pertemuan ini, sekolah berusaha melakukan sosialisasi sistem pendidikan dan berbagai macam kebijakan sekolah agar dipahami orangtua dan menggali masukan dari mereka. Beberapa orangtua masih merasa risih atau enggan diundang ke sekolah secara pribadi karena mempersepsikan undangan sebagai konsekuensi anaknya bermasalah atau melakukan pelanggaran aturan sekolah, padahal belum tentu seperti itu. Komunikasi yang efektif bisa dilakukan jika sekolah memberikan kesempatan komunikasi dan pelayanan diskusi yang nyaman dan orangtua memiliki persepsi positif serta keterbukaan berdiskusi dengan sekolah. Undangan sekolah akan lebih baik dipersepsikan sebagai bentuk layanan komunikasi dan kesempatan berdiskusi tentang langkah terbaik dalam mandampingi proses tumbuh kembang anak.
Kegiatan berikutnya yang akan sangat membantu kerja sama orangtua dan sekolah adalah kunjungan rumah. Sekolah kami secara bergiliran mengirimkan perwakilan guru untuk mengunjungi rumah wali murid. Penulis mengamati, saat ini sudah banyak sekolah yang melakukannya. Kegiatan ini pada dasarnya adalah silaturahmi untuk membangun kehangatan hubungan antara kedua pihak, ternyata proses ini mendatangkan manfaat yang lebih luas. Selama proses perbincangan di rumah wali murid, sekolah bisa mendapatkan gambaran pendidikan orangtua di rumah, meluruskan perbedaan-perbedaan persepsi antara kedua pihak, menemukan data-data yang sangat berguna untuk mengembangkan program sekolah, sekaligus membangun komitmen tentang tindak lanjut kegiatan ke depan baik oleh orangua di rumah maupun oleh guru di sekolah agar anak-anak berkembang lebih baik.
Program lain yang pernah diselenggarakan sekolah adalah Parenting Skill Class. Dalam program ini, semua orangtua diundang ke sekolah secara bergiliran untuk mendapatkan pembelajaran tentang penerapan pola asuh orangtua pada anak-anaknya. Program ini bertujuan agar visi sekolah dan orangtua dalam mendidik anak sama. Parenting Skill Class merupakan layanan sekolah untuk wali murid yang diharapkan bisa memberi bekal dalam mendampingi tumbuh kembang anak dengan baik. Acara ini dipandu oleh instruktur berpengalaman dengan kemasan yang menarik, mulai dari ceramah, diskusi, berbagai pengalaman, permainan, nonton film, dan kisah-kisah kontemplatif. Wali murid merasakan banyak manfaat dari kegiatan ini.
Sekolah harus merancang program-program ini dengan terencana, terkoordinasi, dan terevaluasi dengan baik serta melaksanakannya secara berkelanjutan. Seberapa pun baiknya program yang dirancang sekolah, kekuatan motivasi dari wali murid tetap menjadi kunci utama suksesnya kerja sama antara sekolah dan orangtua. Orangtua yang memiliki komitmen kuat atas kerja sama ini dan memiliki komunikasi yang baik dengan sekolah, insya Allah akan mendapati anak-anaknya tumbuh dengan baik dan mencapai prestasi yang diharapkan. Orangtua yang kurang peduli akan kerja sama ini dan menyerahkan seluruh tanggung jawab pendidikan pada sekolah, perlu merenung tentang kemungkinan mereka akan mendapati anak-anaknya tumbuh tidak sesuai dengan harapan mereka.
Langganan:
Postingan (Atom)