Rabu, 25 Maret 2009

Surga dan Neraka adalah Urusanku!

Saya pernah mengalami suatu kondisi tertekan dalam sebuah sesi konseling dengan salah seorang siswa saya. Perasaan tertekan ini muncul ketika kami berdiskusi tentang agama. Saya mempertanyakan sikapnya yang kurang mempedulikan para guru yang mengingatkan dia berdisiplin ibadah. Saya tersentak oleh ungkapannya yang sangat panjang.

“Saya ini sudah besar, saya sudah baliqh. Segala dosa dan pahala ada di pundak saya. Saya akan menanggung sendiri segala akibat dari perbuatan saya. Semua manusia pada akhirnya akan mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri-sendiri di akhirat nanti. Lagipula semua manusia tidak ada yang sempurna, kecuali Nabi Muhammad yang memang dijamin langsung masuk surga. Semua manusia yang tidak sempurna, punya dosa dan kesalahan toh pada akhirnya harus mampir dulu ke neraka untuk mencuci dosa-dosanya. Guru tidak perlu repot-repot mengingatkan siswa untuk beribadah, saya juga tidak akan mengajak guru untuk bersama-sama ke neraka. Semua manusia akan berjalan sendiri nantinya. Jangan membuat saya semakin tertekan dengan banyak mengingatkan. Saya tahu, guru-guru yang mengingatkan saya akan semakin bertambah pahalanya dan berkurang dosanya. Dan ketika saya mengabaikan untuk diingatkan, maka semakin banyaklah dosa saya. Maka dari itu, sudah cukup, jangan mengingatkan saya lagi. Apa yang saya lakukan adalah urusan saya dengan Allah. Orang pasti menyangka bahwa saya berkata seperti ini karena saya telah kerasukan setan. Ya mungkin memang benar terlalu banyak setan bersemayam dalam diri saya. Saya juga sering tersiksa dengan pikiran-pikiran saya sendiri, tetapi untuk berubah rasanya sangat sulit. Jadi, biarkan saja saya.”

Saya mencoba menenangkan diri selama dia meluapkan pikirannya sambil berpikir bagaimana membuka pintu hatinya untuk menerima pencerahan. Kemudian saya sampaikan sikap empati padanya.

“Terimakasih, saya salut atas kejujuranmu dalam mengungkapkan pikiran. Saya paham bahwa manusia memang keimanannya bisa naik turun, bahwa setiap manusia memiliki kelebihan dan kelemahan, yang penting manusia itu mau berubah menjadi lebih baik dari hari ke hari.” Saya berbicara sambil melihatnya wajahnya yang menunduk.

“Mendidik anak bagi semua guru di sekolah ini adalah suatu amanah, kepercayaan yang harus dipertanggungjawabkan pada Allah. Jangan berpikir bahwa guru-guru akan berhenti mengingatkan atau mengurangi kedisiplinan karena mengetahui pemikirannya yang seperti itu. Guru-guru di sekolah ini pastilah memang telah dipilih oleh Allah untuk memiliki kesabaran dalam mendidik dan kuat bertahan dengan siswa macam apapun.”, saya sangat lega sebab ketika saya berbicara dia diam dan mendengarkan, tidak memberikan sedikitpun bantahan.

“Kalau boleh tahu, kenapa kamu begitu marah kalau diingatkan sholat?’, saya coba bertanya dengan lembut.

“Saya kan malu kalau diingatkan di depan orang banyak, kayaknya saya itu bandel banget sampai diingatkan terus.”, begitu jawabnya.

“Nah kalau tidak dingatkan apa kamu bisa berangkat sendiri ke masjid, tidak terlambat sholat. Bagaimana?”, tanya saya lagi.

“Sholat ya sholat. Kayak orang alim aja datang di awal. Tidak mau!”, jawabnya.

“Mau berubah jadi baik atau tidak?”, tanya saya lebih tegas.

“Ya mau. Tapi kalau mengingatkan jangan di depan orang banyak.”, begitu ujarnya.

Dengan kesepakatan itu, diskusi saya akhiri. Saya terdiam cukup lama setelah selesai konseling ini. Saya tidak menyangka ada sebuah hati dari seorang anak yang berusia muda dengan sudut pandang yang begitu sempit. Kalimat yang dia utarakan memang logis secara akal, tapi sungguh mencerminkan kemiskinan spiritualitas. Dia menilai agama hanya karena dosa dan pahala, surga dan neraka. Padahal agama mengajarkan nili-nilai kebajikan yang amat luas yang sungguh akan mendamaikan kehidupan manusia. Saya menarik kesimpulan bahwa memang dia belum mendapat hidayah untuk menghayati nilai spiritualitas yang sejati, mungkin dia butuh pembelajaran dan proses yang lebih tepat untuk merubah dirinya. Peristiwa ini menjadi sebuah pengalaman berharga, saya menyadari bahwa tidak mudah untuk memberikan pendidikan nilai spiritual pada remaja.

Pada waktu-waktu berikutnya, saya mencoba terapkan kesepakatn yang sudah dibuat. Saya tidak pernah lagi mengingatkan dia secara langsung. Saya juga berpesan pada guru-guru yang lain untuk melakukan hal yang sama. Kadangkala memang saya masih mendapati masalah motivasi sholatnya, seperti yang tampak dalam keseharian berjalan malas-malasan atau datang terlambat ke masjid. Namun, lambat laun ada juga perubahan. Bahkan, pada akhirnya saya begitu takjub melihat dia selalu datang paling awal di masjid, seringkali saya melihat dia telah duduk manis di shaf pertama ketika saya sendiri baru tiba di masjid. Dan aku benar-benar melihat rona wajah ikhlas dan senyuman manis ketika dia melakukan itu. Sungguh aku ingin memeluknya untuk mengatakan bahwa saya bangga terhadap perubahannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar